Selasa, 11 November 2008

Guru Honorer "Nyambi" Jadi Juru Parkir

(ah... lagi lagi.....)

-------------------------------------------------


KESEJAHTERAAN para guru honor yang jauh dari cukup membuat mereka harus putar otak untuk mencari pendapatan tambahan, salah satunya bekerja sambilan. Pasalnya, harapan mereka menjadi pegawai negeri sipil (PNS) harus kandas lantaran terbentur syarat status sarjana. Widodo (46), salah satunya. Ketika keadaan ekonomi kian sulit, guru seni rupa yang sudah mengajar selama 21 tahun itu harus menjalani pekerjaan sambilan sebagai juru parkir pinggir jalan.


Seusai mengajar di SMA dan SMK Purnama di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dia menjadi juru parkir di Jalan Panglima Polim dan Jalan Wijaya II, Kebayoran Baru. Terkadang dia menjadi juru parkir sejak malam hingga pukul 03.00. ”Gaji guru honor hanya Rp 700.000 sebulan, kalau ditambah sama markir, saya bisa bawa pulang Rp 70.000 sehari,” ujarnya saat ditemui seusai mengajar, Rabu (5/11).


Tekanan ekonomi yang kini dirasanya sangat berat memaksanya menjalankan pekerjaan lain di luar mengajar. Widodo harus menanggung hidup empat anak kandungnya dan satu keponakannya yang semuanya masih sekolah, sedangkan istrinya tidak berpenghasilan. Dia sempat juga berjualan nasi goreng, sate, tongseng, dan bakso untuk menambah penghasilan, tetapi kini dihentikannya atas permintaan sang istri.


Pria yang juga aktif melatih ekskul teater itu hanya mengenyam pendidikan Diploma 2 di IKIP Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta). Seringkali dia bertemu dengan muridnya saat sedang memarkir kendaraan. ”Saya suka malu kalau bertemu anak murid waktu lagi markir, apalagi murid perempuan,” ujar pria asal Klaten, Jawa Tengah, itu.

Namun, dia selalu menjelaskan kepada semua muridnya bahwa hidup di Jakarta tidak perlu sungkan melakukan pekerjaan apa pun asalkan halal.

”Dulu, SBY bilang akan mengangkat guru honor yang sudah mengabdi lebih dari 15 tahun menjadi PNS. Itu juga sempat memberi angin segar, tetapi ternyata sekarang terbentur oleh sertifikasi guru,” ungkapnya.


Dia pun berkali-kali mengikuti tes guru PNS dengan mengambil pilihan daerah di luar Jawa, seperti Papua dan Kalimantan, tetapi ternyata nasib baik belum berpihak kepadanya.


”Sertifikasi itu sangat mencekik kami, guru-guru yang sarjana bisa sangat sejahtera, tetapi kami semakin sulit,” ujar warga Jalan Hankam Raya, Ujungaspal, Podok Gede, Bekasi, ini.


Anak bungsu dari 17 bersaudara itu hanya berharap nasib guru honorer bisa lebih diperhatikan oleh pemerintah. ”Kalau berharap jadi PNS sih sudah terlalu muluk yang penting sekarang bagaimana bisa sedikit lebih sejahtera saja,” ujarnya.


Bagi pria yang yatim piatu sejak kecil ini, mengajar adalah suatu pekerjaan yang menyenangkan dan termasuk ibadah. Dia bahkan sempat mengajar di SMP negeri dengan bayaran Rp 200.000 sebulan. Meski berpenghasilan pas-pasan, dia tetap akan menjalani profesi pendidik ini.


Sumber : Kompas, 10 November 2008


Tidak ada komentar: